T For Turfa

Kuliah memang tidak sesibuk masa masa MA (atau mungkin belum). Tapi saya makin tidak update dengan berita-berita sekarang. Sekalinya saya iseng-iseng buka sebuah portal berita, saya tercengang dengan seorang yang memiliki banyak pemuja yang berbacot ria : 'IPDN bubarkan saja'

WTF!
Dan alasannya sangat kampret sekali : bisa narik PNS dari swasta atau pihak luar tanpa dasar pendidikan seperti IPDN.
Dan makin keselnya lagi, para pemujanya setuju dengan usul ini dengan alasan yang gak kalah ______nya.

Setelah melihat peristiwa ini, saya dapat menarik kesimpulan salah satu faktor yang membuat Indonesia masih belum seperti yang kita harapkan.
(Sebagian) masyarakat Indonesia ternyata masih belum mengutamakan masalah pendidikan. Mereka ingin hasil yang bagus, sistem yang bersih, Indonesia yang maju, tetapi tidak ingin pusing-pusing memikirkan masalah pendidikan. Padahal, apa yang bisa dilakukan orang tak berpendidikan? Banyak orang yang berkata, 'Bob Sadino aja kaya. Bill Gates aja makmur.'. Mereka lupa membandingkan berapa persen orang tak berpendidikan yang sukses dan berapa persen orang berpendidikan yang sukses. Bill Gates baru-baru ini berkata, 'Saya memang DO dan beruntung, tetapi orang berpendidikan memiliki jalan yang lebih pasti menuju kesuksesan.'.

Makin lama, 'tokoh'-'tokoh' pujaan mungkin akan berkata, Bubarkan STAN! 'Tokoh' lain berkata, Bubarkan STSN dan STIN! 'Tokoh' yang gak mau kalah berkata, Bubarkan STPI! Dan suatu saat, 'tokoh' dari segala 'tokoh' akan berkata, 'Bubarkan saja Akmil dan Akpol! Rekrut aja preman karena lebih berpengalaman!'

Sudah lama saya tidak menulis di blog ini lagi. Dan posting kali ini berhungan dengan hal ini.

Sebenarnya, saya sering mendapatkan ide untuk menulis. Tentang ini, tentang itu, tentang banyak hal. Tetapi semua ide itu tidak berubah menjadi tulisan dengan satu alasan yang sama. Setiap mendapat ide, saya selalu berpikir, "Ah nanti mau menulis tentang itu. Nanti mau nulis gini dulu, terus lanjutin ke ini, akhirnya ke sana.". Dan itu adalah masalah besar.

Mengapa? Karena kemungkinan besar, saya punya mood untuk menulis tentang hal itu hanya pada saat itu. Setelah ditunda, misal hanya sehari, saya pasti sudah malas menulis tentang itu. Contoh saja tentang OSN dan pelatnas. Saya  awalnya punya keinginan untuk melanjutkan tulisan saya tentang OSN dan dilanjutkan ke pelatnas. Sayangnya, saya selalu menunda-nunda. Dan sekarang, saya sudah tidak berhasrat untuk menulis tentang itu. (Mungkin, kalau saya lanjut ke pelatnas 4, situasinya akan berbeda :v)

Setiap masalah ada solusinya. Dan solusinya adalaaaaaaaah : selalu tulis langsung ide yang muncul. Tidak perlu langsung tulisan utuh. Hanya garis-garis ide saja. Setelah itu, kita pasti merasa sayang untuk tidak melanjutkan. Tidak usah bawa-bawa buku untuk ini, cukup download aplikasi note di hp dan masalah terselesaikan. Banyak kok aplikasi note gratis, baik online maupun offline. Saya sendiri pakai aplikasi Evernote.

Selamat menulis!

Apa cita-cita saya? Beberapa formulir yang saya isi setahun terakhir menanyakan ini.
Sejujurnya, saya bingung saya bercita-cita menjadi apa. Sejak dulu.

Dulu waktu masih kecil, saya selalu menjawab dokter adalah cita-cita saya. Mengapa? Bukan karena saya memang ingin menjadi dokter, tetapi hanya karena saya sering bertemu dengan meraka.
Padahal, profesi yang saat itu sering saya bayangkan adalah menjadi joki atau kusir kuda. Yap, saya sangat menyukai kuda sejak saya masih sangat kecil. Tapi, sejak dulu juga, saya menolak menjadikan joki atau kusir kuda sebagai cita-cita, karena tidak umum :v (Waktu saya masih kecil cita-cita yang umum itu polisi, tentara, dokter, guru, pilot, pemain bola.)

Semakin lama, semakin saya banyak menonton dan membaca, saya menemukan profesi-profesi yang menurut saya keren dan mungkin saja saya ingin menjadikan itu sebagai cita-cita. Agen intelijen, kriptografer, tentara, bahkan pilot pesawat tempur. Tetapi tetap saja, saya hanya menganggap profesi itu keren. Saya tidak terlalu berharap masa depan saya akan menjadi mereka. Dan memang dari fisik dan kemampuan pun saya (sangat) tidak cocok.

Sekarang, saya sudah di penghujung masa-masa SMA MA. Dan saya masih tidak tahu apa cita-cita saya.
Lalu kuliah apa?
Memang jika saya melihat faktor cita-cita, saya tidak tahu mau kuliah ke mana. Tapi tentu saja itu hal yang tidak baik. Oleh karena itu, saya melihat faktor lain, yaitu faktor kemampuan. Mungkin, di antara semua jurusan favorit, saya sedikit lebih berkemampuan di bidang komputer. Oleh karena itu, saya daftar kuliah di jurusan yang berhubungan dengan komputer.

Berhubungan dengan jurusan yang saya pilih, sebenarnya saya juga kurang tahu akan menjadi apa saya nanti. Bidang yang lebih saya minati daripada yang lain dalam bidang komputer adalah programming. Tapi, dalam bayangan saya, menjadi programmer hanya menjadi pesuruh dari bos. "Hey kamu! Bikinin saya program tentang blablabla yang bisa blablabla. Saya mau programnya sudah jadi dalam sekian hari." Entahlah, semoga kenyataannya tidak seperti itu. Lalu maunya bagaimana? Saya juga tidak tahu.

Intinya, menjawab pertanyaan yang ada di judul, saya tidak tahu bercita-cita menjadi apa, dan saya juga tidak tahu nanti saya akan menjadi apa. Biarkan saja semua mengalir apa adanya :D

DIA
Yang sempat merajut benang-benang
kusam. Berpilin-pilin benang.

Yang rengat menjadi benang-benang
runyam. Terpilin-pilin tenang.

Dia. Yang Tadi.

DIA

begitulah

I can write the saddest poem of all tonight.

Write, for instance: "The night is full of stars,
and the stars, blue, shiver in the distance."

The night wind whirls in the sky and sings.

I can write the saddest poem of all tonight.
I loved her, and sometimes she loved me too.

On nights like this, I held her in my arms.
I kissed her so many times under the infinite sky.

She loved me, sometimes I loved her.
How could I not have loved her large, still eyes?

I can write the saddest poem of all tonight.
To think I don't have her. To feel that I've lost her.

To hear the immense night, more immense without her.
And the poem falls to the soul as dew to grass.

What does it matter that my love couldn't keep her.
The night is full of stars and she is not with me.

That's all. Far away, someone sings. Far away.
My soul is lost without her.

As if to bring her near, my eyes search for her.
My heart searches for her and she is not with me.

The same night that whitens the same trees.
We, we who were, we are the same no longer.

I no longer love her, true, but how much I loved her.
My voice searched the wind to touch her ear.

Someone else's. She will be someone else's. As she once
belonged to my kisses.
Her voice, her light body. Her infinite eyes.

I no longer love her, true, but perhaps I love her.
Love is so short and oblivion so long.

Because on nights like this I held her in my arms,
my soul is lost without her.

Although this may be the last pain she causes me,
and this may be the last poem I write for her.

Malam seperti inilah yang membuat
ingatan tentangmu muncul dan timbul.

Ingatan tentang kita yang saling berbagi
cerita.
Yang berbagi cinta.
Lalu kita berpura-pura tidak tahu
paru-paru kita bekerja lebih cepat.

Sungguh aku tidak tahu apa yang
harus aku tulis lagi.
Hanya kamu, hanya kamu, hanya kamu,
yang menari-nari dalam pikiran dan
menjemput rinai-rinai air mata.

Kamu kupu-kupu meninggalkanku
yang selalu merindukan ulat.

Dan aku telah berhasil menulis mimpi-mimpi
tentang kamu yang tidak mungkin terjadi.